Sengketa PPh Badan PT SI menjadi studi kasus penting yang menggarisbawahi kelemahan Uji Arus Piutang sebagai dasar koreksi dan kekuatan bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas tunjangan/fasilitas karyawan. Pada sengketa ini, DJP awalnya menerbitkan SKPKB PPh Badan Tahun Pajak 2013 dengan selisih Penghasilan Neto yang disengketakan mencapai lebih dari Rp6,7 miliar. Sengketa ini melibatkan lima pos koreksi, mulai dari Peredaran Usaha, biaya Salaries Japan, Amortization Allowance, Penyesuaian Fiskal Positif Penyusutan, hingga penolakan koreksi lanjutan berupa Penyesuaian Fiskal Negatif.
DJP menyerang PT SI dengan kombinasi dua metode pengujian utama: perhitungan dan substansi. Koreksi Peredaran Usaha sebesar Rp3,57 Miliar dilakukan berdasarkan Uji Arus Piutang/Uang, sebuah metode yang DJP yakini cukup untuk mengindikasikan adanya peredaran usaha yang belum dilaporkan. Sementara itu, di sisi biaya, DJP mempermasalahkan Salaries Japan (Rp193,3 Juta) yang dianggap sebagai natura non-deductible, serta mengoreksi perbedaan penyusutan dan menolak klaim Penyesuaian Fiskal Negatif (Rp1,8 Miliar) karena dianggap tidak memiliki dokumen pendukung. Intinya, kasus ini menguji sejauh mana otoritas pajak dapat menggunakan metode perhitungan tanpa dukungan dokumen komersial yang kuat, dan bagaimana pembuktian PPh Pasal 21 dapat menyelamatkan pembebanan natura.
PT SI menangkal tuduhan tersebut dengan pembuktian berbasis dokumen komersial dan pencatatan PPh Pasal 21. Terkait Peredaran Usaha, PT SI berhasil meyakinkan Majelis bahwa koreksi berdasarkan Uji Arus Piutang/Uang harus didukung bukti komersial yang jelas seperti invoice, faktur pajak, dan konfirmasi lawan transaksi, yang gagal disajikan oleh DJP. Sedangakn untuk biaya Salaries Japan, PT SI membuktikan bahwa biaya tersebut adalah tunjangan fasilitas perumahan bagi ekspatriat selaku karyawan, dan telah dikenakan pemotongan PPh Pasal 21—menegaskan biaya tersebut sah dibebankan perusahaan. Demikian pula, untuk Amortization Allowance Bad Debt, PT SI mengklarifikasi bahwa meskipun deskripsi dalam General Ledger membingungkan, biaya tersebut secara substansi adalah amortisasi software operasional. Pembuktian substansi dan pemenuhan kewajiban PPh Pasal 21 ini membuat Majelis Hakim membatalkan ketiga pos koreksi utama tersebut.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan sebagian banding PT SI. Majelis sepakat dengan pembuktian PT SI bahwa koreksi atas Peredaran Usaha, Salaries Japan, dan Amortization Allowance tidak didukung oleh bukti yang memadai oleh DJP, sehingga total koreksi sebesar Rp3,93 Miliar dibatalkan. Namun, Majelis mempertahankan koreksi terhadap Penyusutan Komersial di atas Penyusutan Fiskal (Rp950,7 Juta) karena adanya perbedaan pengelompokan aset yang tidak dapat diyakinkan PT SI di hadapan Majelis. Demikian pula, Majelis mempertahankan penolakan terhadap klaim Koreksi Penyesuaian Fiskal Negatif (Rp1,8 M) yang merupakan kelanjutan koreksi Penyusutan, karena PT SI gagal menunjukkan data/dokumen yang mendukung di hadapan Majelis.
Putusan ini menjadi pelajaran penting bagi Wajib Pajak bahwa konsistensi dokumentasi adalah kunci pertahanan. Kemenangan PT SI menunjukkan bahwa Uji Arus Piutang DJP tidak akan bertahan jika Wajib Pajak mampu mendemonstrasikan bukti komersial dan dokumen pendukung yang valid. Lebih lanjut, biaya natura/fasilitas karyawan dapat diakui secara fiskal jika Wajib Pajak membuktikan bahwa imbalan tersebut telah diperlakukan sebagai objek PPh Pasal 21 bagi penerima. Sebaliknya, Wajib Pajak harus sangat teliti dan mampu membuktikan setiap pos Penyesuaian Fiskal (Positif maupun Negatif), karena ketidaklengkapan dokumentasi pada pos-pos teknis, dapat menjadi celah bagi DJP dan dipertahankan oleh Majelis.
Kata Kunci: Uji Arus Piutang, Koreksi Peredaran Usaha, Biaya Natura, PPh Pasal 21, Penyesuaian Fiskal Positif, Penyusutan Fiskal, Beban Pembuktian, Litigasi Pajak
Analisa komprehensif dan putusan lengkap atas sengketa ini tersedia di sini